Kodak tutup. Bangkrut! Nokia bingung. Kehilangan
pijakan. Starbucks jualan bir: “beyond coffee” kilahnya. Operator telco tambun
limbung, digembosi Google atau Skype. Bank kebat-kebit karena tren “The death
of cash”. Long tail champions seperti kanker menggerogoti irrelevant
incumbents. Outliers seperti Zipcar atau Groupon marak layaknya jamur di musim
hujan.
Bisnis kini menjadi
kian sulit. Bisnis menjadi kian suram… bagi mereka-mereka yang picik dan bebal.
Sebaliknya, Bisnis begitu moncer bagi visionaries. Bisnis begitu
gilang-gemilang bagi para whitespace inventor.
Kini kita memasuki era yang luar biasa, “the era of
billions of opportunities”. Landskap bisnis mengalami gempa tektonik yang
memporak-porandakan, persis seperti digambarkan dalam film kiamat: 2012.
Creative destruction terjadi di hampir seluruh industri. Killer apps
bergentayangan terus mengintai mangsanya. Model bisnis lama hancur dibilas
dengan bisnis model baru yang lebih cool. Dalam lanskap yang baru ini inovasi
model bisnis bukan lagi kemewahan, tapi sudah menjadi mainstream.
Berikut ini adalah tiga creative destruction yang
bakal memporak-porandakan bisnis Anda kini dan seterusnya. Creative destruction
itu akan menjadi asset bagi Anda yang memilih menjadi pemenang, tapi menjadi
liabilities bagi Anda yang memilih menjadi pecundang.
Customers Are Connected
Untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia,
setelah ditemukannya social technologies konsumen menjadi terhubung satu sama
lain membentuk jejaring (customer network). Jejaring konsumen ini berelaborasi
menjadi cluster-cluster konsumen karena adanya satu minat atau tujuan yang sama
(common interest) sehingga membentuk komunitas. Dengan medium jejaring sosial
(social network) komunitas ini tumbuh demikian subur di mana antar anggota
komunitas berinteraksi satu sama lain (melakukan conversation, engagement,
cocreation).
Kalau sudah begini, maka Internet akan berisi
jutaan bahkan miliaran komunitas konsumen yang saling terkoneksi dan
berinteraksi satu sama lain secara natural tanpa satu pun instiusi yang bisa
mengatur dan mengontrolnya. Mereka akan menjadi sebuah kekuatan massif yang
sangat powerful dalam berhadapan dengan pemilik merek. Kasus “Dell Hell”, “Koin
Untuk Prita”, hastag #25Jan atau #Suez dalam revolusi rakyat di Mesir, adalah
sinyal-sinyal awal betapa konsumen menjadi demikian digdaya karena adanya
social technologies.
Karena customer metamorphosis ini, saya confident
mengatakan bahwa: “the future of marketing is community marketing”. Ketika kita
berbicara community marketing maka rumus-rumus marketing secara fundamental
akan berubah: dari “vertical” ke “horizontal”; dari “one to many” ke “many to
many”; dari “selling” ke “facilitating”; dari “broadcasting” ke
“participating”; dari “exploitative” ke “cocreative”; dari “selfish” ke
“giving”.
Consumption Becomes Collaborative
Jakarta macet karena setiap orang membeli mobil.
Jakarta pekat asap hitam karena setiap orang memiliki mobil. Kenapa tidak
memiliki hanya satu mobil yang dipakai secara beramai-ramai (sharing) di antara
katakan 10 atau 15 warga Jakarta secara bergantian. Kalau ini bisa dilakukan,
maka populasi mobil di Jakarta akan kecil, kepulan asap yang disemburkan
knalpot akan kecil, jalanan Jakarta lebih nggak macet. Dan kalau kemacetan dan
polusi bisa dipangkas, maka manfaat sosial yang dihasilkan akan luar biasa.
Itulah ide dasar di balik apa yang disebut
collaborative consumption. Ketika konsumen terkoneksi satu sama lain dan social
technologies telah tersedia, maka “konsumsi berjamaah” yang dijalankan dalam
peer-to-peer platform ini dimungkinkan. Model bisnis inilah yang melandasi
operasi perusahaan-perusahaan masa depan seperti Zipcar, Zilok, atau Freecycle.
Dengan collaborative consumption kita tak perlu
memiliki produk yang kita konsumsi: “What’s mine is ours”. Itu sebabnya model
bisnis ini sangat menghemat sumber daya. Dan karena hemat sumber daya, ia
menjadi solusi luar biasa bagi bumi yang kian pucat dan kurus. Collaborative
consumption tak hanya berlaku untuk mobil, tapi berlaku produk dan layanan
apapun. Saya meramalkan bisnis-bisnis dengan platform collaborative consumption
akan menjadi deadly business model yang akan meruntuhkan banyak model bisnis
tradisional yang usang dan tak relevan.
Bits Is the Killer App
Transformasi terbesar yang dihadapi umat manusia di
abad 21 ini adalah revolusi dari “atoms” ke “bits”. Revolusi itu seperti
tornado yang menyapu bersih apapun yang dilewati. Tornado itu membumihanguskan
pecundang, sekaligus menyisakan pemenang. Google dan Facebook menjadi raksasa
baru dalam waktu superkilat karena kesigapannya melalui revolusi atoms ke bits.
Sebaliknya, Kodak terpaksa tutup karena tak berdaya melewati revolusi atoms ke
bits. Kodak tak mulus menjalani transisi dari fotografi analog ke fotografi digital.
Bits is the killer app. Banyak korban berjatuhan
karenanya. Borders “dibunuh” oleh Amazon. Toko CD “dibunuh” oleh iTunes.
Penerbit cetak “dibunuh” oleh Lulu.com. Layanan interlokal “dibunuh” oleh
Skype. Ensiklopedia Britanica “dibunuh” oleh Wikipedia. Koran dan majalah
“dibunuh” oleh blog.
Ketika informasi dipaket dalam bentuk bits, maka
informasi kemudian tersedia secara berlimpah (abundant), begitu mudah
didapatkan dan dicari (findable/searchable), dan yang terpenting ia menjadi
grastis (free). Ketika pengetahuan dipaket dalam bentuk bits, maka ia kemudian
menjadi seperti O2 yang tersedia secara berlimpah dan gratis. “Once something
becomes bits, it inevitably becomes free.” Ini memicu terciptanya model bisnis
paling mematikan saat ini yaitu “free business model”.
Saya melihat, tiga fenomena di atas merupakan
persoalan besar di depan mata yang harus dibereskan setiap marketer. Tiga
pertanyaan tersebut tak gampang dicari jawabannya karena melibatkan perubahan
rule of the game pemasaran yang begitu fundamental. Untuk melakukannya marketer
harus menciptakan inner sense of urgency. Ia harus berani keluar dari zona
nyaman dan berani membalas creative destruction yang menimpa industri dengan
creative destruction dalam paradigma dan pendekatan pemasaran yang digunakan.
Persoalan pelik yang selalu mengiringi sebuah
perubahan paradigma adalah begitu perkasanya legacy masa lampau dalam
mengungkung pikiran kita. Legacy inilah yang membuat otak kita beku. Dengan
beku otak kita akan menganggap resep-resep mujarap masa lalu sebagai yang
terbaik dan terbenar; sementara paradigma dan pendekatan baru adalah teroris
yang sedari dini harus ditumpas. Di tengah kebekuan, otak kita memerlukan
rebooting untuk menjadi kanvas putih-bersih.
Hanya dengan terus belajar dan paranoid terhadap
setiap perubahan kita akan menjadi brand gardener yang hebat. Kuncinya
sederhana: “Jangan menjadi (seperti) Kodak!!!”
sumber Facebook @ Kampung Wirausaha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar